Sabtu, 23 Januari 2010

RIMBA DUNIA KEDOKTERAN

Rimba dunia kedokteran. Itulah kias yang tepat bagi pengobatan dokter. Korban-korban yang berjatuhan menjadi saksi dari keangkeran rimba itu. Rimba misterius, sarat dengan jebakan dan rintangan, mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat akan terbentang di hadapan Anda. Siapakah Anda?

Satu-satunya yang pasti di rimba itu adalah penguasanya. Penguasa rimba itu adalah dokter. Dokterlah yang mengirim Anda memasuki rimba itu. Ia bertanggungjawab atas keselamatan Anda. Ia yang menentukan rimbanya atau rumah sakitnya. Ia menuntun Anda melewati rimba itu. Ia pulalah yang mempertemukan Anda dengan tokoh-tokoh seperti perawat, dokter lainnya, petugas ronsen dan laboratorium yang dibutuhkan untuk kesembuhan Anda. Dokter adalah pemandu utama di rimba itu.

Siapakah yang dimaksud dengan pasien dalam? Pasien adalah manusia sakit yang membutuhkan bantuan. Manusia yang mampu memberikan bantuan adalah dokter. Tidak ada pasien tanpa dokter demikian juga sebaliknya tidak ada dokter tanpa pasien. Hubungan ini ibarat kapas dalam air. Tidak ada yang mengetahui apakah air dalam kapas atau kapas dalam air. Demikian kentalnya senyawa ini sehingga bahagia dan kesedihanpun dirasakan bersama. Alam menunjukkan bahwa peningkatan kualitas pasien akan mempertinggi kualitas dokter.

Beribu pertanyaan muncul di pintu masuk rimba itu. Berapakah biaya obat yang harus saya tebus? Apakah saya harus dironsen? Apakah darah saya akan diambil untuk diperiksa? Apakah saya akan dioperasi? Apakah saya akan selamat? Bagaimanakah nanti bila operasi gagal? Bagaimanakah nasib anak istri bila saya lumpuh? Bagaimanakah dengan biaya rumah sakit bila terjadi komplikasi?

Setiap perbuatan tentu mengandung risiko. Mari kita lihat pengalaman Agus dalam perjalanan dengan bus dari Jakarta ke Bandung. Tiba-tiba ada tangan usil melempar bus itu dengan batu. Kepala Joni yang duduk di sebelahnya luka terkena pecahan kaca. Bus jalan terus sesudah kernet merawat luka Joni. Tiba-tiba ada yang menyalib bus dan sopir merem mendadak. Giman kawan Agus yang berdiri di pintu bus terlempar keluar. Giman ditinggal di Puskesmas. Perjalanan dilanjutkan. Sopir ngebut terus diburu oleh waktu. Lampu merah dilanggar. Bus tabrakan. Kepala Agus terbentur ke kursi di depannya.

Apakah semuanya kesalahan sopir? Siapa bisa menduga ada tangan jahil yang melempar bus? Kenapa Giman tidak patuh dan tidak duduk manis di kursinya? Mungkin hanya cedera Agus yang bisa dihubungkan dengan pelanggaran lampu merah. Tidak semua musibah bisa ditimpakan ke sopir, bukan? Demikian juga tidak semua musibah bisa disalahkan kepada dokter.

Ada dua macam pemandu atau dokter. Ada dokter yang baik dan ada yang tidak baik. Dokter yang baik akan membuat perasaan Anda menjadi nyaman. Keterangan-keterangannya akan melapangkan dada Anda menghadapi langkah-langkah pengobatan berikutnya. Anda beruntung karena dokter ini membuat rimba itu menjadi tidak begitu menakutkan. Tentu saja penjelajahan itu mengandung berbagai risiko. Risiko itupun sudah diberitahukan dengan jujur. Untuk mempersiapkan mental Anda, tentulah dokter itu tidak lupa menerangkan berbagai cara pengamanan untuk mengurangi risiko.

Namun seperti halnya dengan Anda, dokter itu hanyalah seorang manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Keterbatasan utama dari dokter adalah ia sering terhanyut dan terfokus pada penyakit Anda, yang bisa diobatinya sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran. Penghargaannya pada Anda membuat ia beranggapan bahwa Anda mengerti akan apa yang dijelaskannya.

Dalam keadaan ini apakah yang akan Anda kerjakan? Apakah Anda akan membabi buta menuruti apa saja yang diperintahkan oleh dokter? Atau apakah Anda hanya akan menggerutu dalam hati namun tetap taat dan patuh? Ataukah Anda akan meminta informasi yang lengkap sebelum menyetujui sarannya?

Semuanya tentu tergantung pada pemahaman Anda tentang hak pasien dalam pengobatan dokter. Apakah hak Anda sebagai pasien? Pada saat dalam kandungan Anda sudah berhak atas hak asasi manusia. Sebagai rakyat Anda berhak atas kehidupan yang layak dan tertib hukum. Sebagai pasien Anda memiliki hak pasien, yang timbul akibat adanya hubungan dengan dokter.

Hubungan air dan kapas tidak selalu berjalan dengan baik. Laksana hujan di hari panas, silang sengketa muncul pada waktu yang tidak terduga. Apakah pada waktu pemeriksaan badan, pemeriksaan laboratorium, rujukan, sebelum pembedahan, sesudah pembedahan, waktu mau membayar dlsb. Hal ini lumrah apabila Anda memandang dokter sebagai dewa penyembuh, dan mengharapkan kesembuhan, serta kesinambungan perhatian dokter. Pada sisi lain, dokter berfikir dan mengobati pasien hanya sebatas objek dari ilmunya.

Silang sengketa adalah awal dari penuntutan. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh: kebutuhan akan uang, kecewa dan marah, komunikasi jelek antara dokter dan pasien, hasutan pihak ketiga seperti keluarga atau kenalan, upaya menutupi keadaan karena malu menderita sesuatu penyakit, keinginan membalas dendam atau melindungi pihak lain dan perangai dokter yang tidak acuh akan musibah.

Kalau kita amati di koran, tabloid, ataupun televisi terlihat bahwa semua penyebab itu berasal dari kebutaan tentang hak dan kewajiban. Apabila Anda dan dokter saling memanfaatkan hak dan menjalankan kewajiban, maka silang sengketa ini tidak perlu terjadi. Silang sengketa akan terhindarkan bila Anda dan dokter bisa saling mengingatkan tentang hak dan kewajiban.

Suatu hak tidak akan aku akhirkan dari temponya. Tidak pula aku hentikan sebelum tiba di tempat pemberhentian yang sebenarnya.

Ali Bin Abu Thalib, ra.

Surat edarannya kepada seluruh Amir Imperium Islam.

Pernahkah Anda memikirkan mengapa dokter mau menolong Anda? Apakah ia wajib menolong Anda yang sama sekali asing baginya? Apakah ia juga boleh marah bila Anda tidak datang berobat?

Menurut Al Gazali kedokteran adalah fardhu kifayah yang berarti suatu kewajiban masyarakat yang sebagian anggotanya dapat mewakili anggota masyarakat lainnya. Kewajiban masyarakat adalah menolong dan mengobati orang sakit. Anggota masyarakat yang wajib menolong adalah dokter. Tidaklah berkelebihan bila dokter dikatakan sebagai fungsionaris Allah di dunia. Asas fardhu kifayah dikuatkan oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia yang mewajibkan dokter bersumpah untuk membaktikan diri bagi perikemanusiaan. Dimana ada kewajiban di situ ada hak. Apakah hak Anda yang mewajibkan dokter menolong Anda? Hak Anda itu adalah hak atas pelayanan kesehatan.

Dokter tidak pula akan berkecil hati apabila Anda tidak datang berobat. Mengapa? Alasannya adalah Anda memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Kedua hak ini merupakan dua asas hukum kesehatan. Kedua hak ini adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).

Menarik untuk diketahui bahwa kedua hak yang merupakan bagian dari HAM ini pertama kali diakui keberadaannya di Indonesia pada tahun 1960 oleh kalangan kesehatan. HAM yang merupakan sumber dari kedua hak ini baru diundangkan di negara kita pada tahun 1999. Untuk aktivis HAM tidak ada kata yang tepat selain surat edaran Ali bin Abi Thalib, ra. Khalifah Islam kepada para Amirnya. Khusus untuk dokter, tulisan orang bijak itu berarti bahwa dokter hendaknya menyegerakan pelayanan dan mengobati pasien dengan benar.

Hak atas pelayanan kesehatan Anda peroleh sejak Anda masih dalam kandungan. Hak ini adalah bagian dari hak dasar manusia yang Anda kenal sebagai hak asasi manusia. Walaupun hak dasar ini sudah dikumandangkan oleh berbagai agama sejak dunia terkembang, kepustakaan mencatat nama John Locke (1690) sebagai penemunya.

Baru pada tahun 1960 hak ini diakui oleh Indonesia. Undang-Undang Kesehatan no. 9 tahun 1960 pasal 1 menyebutkan: “Tiap-tiap warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dan perlu diikutsertakan dalam usaha-usaha kesehatan pemerintah.” Ketentuan ini diperbarui dalam Undang-undang Kesehatan no. 23 tahun 1992 pasal 4 yang menyebutkan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.”

Sama halnya dengan Anda, dokter adalah warganegara. Sebagai warganegara, dokter tidak boleh melanggar hukum. Ia tidak boleh melanggar hak atas pelayanan kesehatan. Hak atas pelayanan kesehatan inilah yang mendasari adanya hubungan Anda dengan dokter.

Hak atas pelayanan kesehatan menimbulkan kewajiban hukum melayani dari dokter. Kewajiban ini tidaklah mutlak. Artinya dokter tidak wajib memberikan pertolongan kepada orang yang menolak pertolongan itu. Hak ini dikenal dengan hak otonomi atas diri pasien. Hak ini juga disebut dengan hak menentukan nasib sendiri. Bandingkan dengan jajak pendapat di Timor Timur. Mereka melakukan pemilihan umum untuk menentukan nasib mereka; apakah mau merdeka atau tetap menjadi bagian negara kita.

Hak otonomi tidaklah mutlak. Usaha mengakhiri hidup atau euthanasia merupakan suatu tindakan melanggar hukum. Mengapa bisa demikian? Bukankah mereka bebas menentukan pilihan? Bukankah mereka mempunyai hak otonomi atas diri mereka? Hal ini terjawab dalam Undang-undang no. 39 tahun 1999 yang membatasi hak asasi manusia dalam pasal 1 ayat 1. Pasal 1 (1) itu menyebutkan: “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Bagaimanakah kita bisa mengakhiri hidup kita sendiri dengan alasan apapun tanpa melecehkan anugerah-Nya? Angerah-Nya ini pun dikuatkan oleh hukum. Itulah alasan dasar mengapa euthanasia merupakan tindakan melanggar hukum di Indonesia.

Dari pihak dokter, hak otonomi atas diri pasien membatasi kewenangan dokter dalam pengobatan. Batasan itu adalah keinginan, pilihan dan persetujuan Anda. Dokter tidak bisa melakukan operasi tanpa persetujuan Anda. Dokter tidak bisa memberikan transfusi darah tanpa persetujuan Anda. Seandainya Anda menolak untuk diobati pun, dokter harus mengabulkan keinginan Anda.

Yang perlu Anda ketahui adalah akibat dari keinginan Anda. Apabila Anda menyetujui suatu tindakan medis, dokter mendapat perlindungan hukum atas tindakan itu. Katakanlah Anda menyetujui suatu operasi. Dokter yang melakukan operasi itu mendapat perlindungan hukum. Artinya dokter itu tidak bisa dituntut karena melukai perut Anda dengan sayatan. Namun perlindungan itu tidaklah mutlak. Apabila dokter itu melakukan operasi dengan ceroboh, tetap saja bisa dituntut. Sebaliknya apabila Anda tidak setuju, dokter bisa dituntut karena melukai perut Anda dengan pisau bedah.

Sebelum memulai penjelajahan ini Anda harus mengenal terlebih dahulu dua tokoh utama. Kedua tokoh itu adalah dokter dan Anda. Kedua tokoh ini memulai penjelajahan dengan itikad baik. Dokter berniat untuk menyembuhkan Anda, dan Anda berniat untuk sembuh.

Niat baik kedua belah pihak ini merupakan awal yang baik. Niat baik akan berakhir dengan baik, apabila dilakukan dengan amal yang baik, dan amalan yang baik. Niat, amal, dan amalan yang baik akan menghasilkan pelayanan yang cepat, pengobatan yang tepat, biaya yang hemat serta keselamatan di dunia dan di akhirat.

Sebelum Anda berobat harus melakukan suatu hal yang sulit, yaitu memilih dokter yang tepat. Untuk melakukan pilihan yang tepat Anda harus mengenal pemain ini dengan cermat. Karena, perlu Anda ingat bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Tak ada gading yang tidak retak kata peribahasa.

Kita mulai dengan membahas siapakah sebenarnya sang dokter ini. Banyak sekali ragam dokter, dari dokter umum sampai dokter superspesialis. Tanpa mengenal macam dan ragam ini, pemilihan pandu untuk penjelajahan akan berakhir dengan kekecewaan. Pengenalan ini akan diikuti dengan etos kerjanya, yaitu bagaimana sikapnya dalam mengobati Anda. Sebagai seorang dokter ia akan bekerja dalam rambu-rambu kode etik kedokteran, sedangkan sebagai seorang warganegara ia tidak boleh melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan hukum.



Sang Dokter

Dewasa ini di Indonesia banyak sekali ragam dokter. Untuk bisa menentukan pilihan, terlebih dahulu Anda harus mengetahui rimba mana yang akan Anda masuki. Ada dua macam rimba, yaitu rimba sederhana seperti sakit batuk pilek, dan rimba belantara seperti kanker. Pandunya tentu berbeda. Pandu pandu untuk rimba belantara jelas lebih mahal sewanya dari pandu biasa. Demikian juga halnya dengan ongkos yang harus dikeluarkan, tentu lebih banyak.

Seringkali Anda tidak bisa membedakan rimba sederhana dengan rimba belantara. Disinilah letak persoalannya. Mau tidak mau Anda harus melakukan uji coba. Bila beruntung, Anda akan bertemu pandu yang baik. Bila tidak, Anda akan kecewa. Pandu yang baik tentu akan menyarankan Anda memilih pandu yang sesuai untuk penjelajahan Anda. Kita mulai dengan pandu yang sesuai untuk rimba sederhana, yaitu dokter umum dan disusul dengan pandu untuk rimba belantara, yaitu dokter spesialis.


Untuk menjadi dokter umum seseorang harus bersekolah paling kurang selama 18 tahun. Enam tahun di SD, tiga tahun di SLTP, tiga tahun di SMU dan enam tahun di Fakultas Kedokteran. Bila umur rata-rata rakyat Indonesia adalah 60 tahun, maka ia menghabiskan hampir sepertiga umurnya untuk bersekolah. Dokter ini bisa melakukan semua tindakan kedokteran. Ia bisa melakukan pengobatan pembedahan dan sebagainya. Hanya saja ia mengetahui semua masalah itu secara umum atau generalis atau kulitnya saja. Pengetahuannya luas tetapi dangkal (lihat gb. 1).

Mungkin saja ia mampu melakukan operasi kecil, namun apabila terjadi perdarahan ia terpaksa mengirim Anda ke dokter spesialis bedah. Mungkin ia bisa mengobati batuk-batuk, namun apabila tidak sembuh, ia akan mengirim Anda ke dokter spesialis penyakit dalam.

Ilmunya yang bersifat umum membuat ia bisa dijadikan pandu pertama dalam setiap penjelajahan. Apabila ia menemukan rimba belantara, ia akan menghubungi dan mengirim Anda ke pandu yang sesuai. Oleh karena itu, jadikanlah dokter umum sebagai pilihan pertama dalam menghadapi rimba manapun. Ia mampu memandu dalam penjelajahan di rimba sederhana, dan mengirim Anda ke dokter spesialis yang sesuai dengan penyakit Anda bila diperlukan.

0 komentar:

Posting Komentar